Senja di Tanah Sumbawa
Karya: I Gusti Bagus Anom
Kududuk di tepi pantai bersama kawanku, untuk memandang hamparan pasir dan lautan. Kulayangkan pandanganku ke ujung cakrawala, memandang mentari yang akan tenggelam sembari diterpa siliran angin yang menambah ketenanganku. Itu menjadi hari terakhirku bersama kawanku, Amir. Amir tak kunjung meninggalkanku di hari terakhir sebelum Ia pergi, yang menjadi saat terakhirku berjumpa dengannya sebelum Ia pergi menimba ilmu di Denpasar untuk melanjutkan pendidikannya mendalami ilmu sastra.
“Ini terakhir
kalinya kita bertemu sebelum kamu meninggalkan tanah Sumbawa untuk menimba ilmu
di Denpasar, Mir. Suasana ini akan selalu kurindukan,” ucapku dengan rasa sedih.
“Aku juga akan
merindukan hal ini. Aku takkan melupakanmu, Bagus,” sambung Amir dengan
senyuman. Aku menghela nafas, menahan air mata yang hendak membasahi pipiku.
Sebelum senja itu
berakhir, aku memberinya hadiah novel karya penulis idolanya yang belum pernah
Ia baca.
“Ini untukmu, Mir. Dibaca ya, semoga kamu masih bisa mengingatku setelah kita berpisah nanti
disaat kamu membaca buku ini,” aku memberikan buku itu kepadanya, air mataku
menetes tepat di atas buku itu, tak rela aku melepaskan dirinya, tapi ini sudah
menjadi jalannya.
“Terima kasih,
Gus. Aku akan membaca novel ini sampai kisahnya berakhir, tetapi kisah kita
janganlah berkesudahan,” aku dan Amir beranjak dari pantai dan kembali ke rumah
masing-masing. Aku bersalaman dengannya sebagai ucapan selamat tinggal.
“Jangan lupa
untuk memberitahu kabarmu disana, ya!” Ucapku dengan senyum.
Jam weker mengucapkan selamat pagi, pertanda
Ia telah pergi. Kita sudah memiliki jalannya sendiri, yang tersisa hanyalah
potret kebersamaan kami berdua semasa sekolah.
“Dia apa kabar
ya?” Pertanyaan yang selalu terbesit di benakku dikala termenung.
Tahun demi
tahun telah kulewati. Pada akhirnya Ia
mengirimkanku surat berisi potretnya bersama istri serta anak-anaknya. Di dalam
surat itu Ia berkata “Hai, Bagus! Aku di Denpasar baik-baik saja. Bagaimana dengan
kabarmu? Ini istri dan anak-anakku. Aku akan pindah menetap kembali ke Sumbawa
beberapa hari lagi untuk membesarkan anak-anakku di sana. Di sana aku akan
tinggal di Kampung Rinjani dimana tempat aku dibesarkan dulu. Setelah itu aku
akan mengunjungimu untuk mengobrol bersama.”
Aku tersenyum
bahagia, karena dapat melihat sahabatku lagi yang telah lama berpisah. Hari
demi hari selalu kutunggu kehadirannya, namun tak kunjung datang. Suatu hari,
datanglah seseorang pria gagah yang mengetuk pintu rumahku. Aku tak mengenal
siapa dirinya, karena wajahnya tampak asing.
“Maaf pak, ada
apa ya?” Tanyaku.
“Loh, gus? Kamu
ga kenal aku? Ini aku Aris, kawan SMA mu dulu,” Sambung pria misterius itu.
Ternyata Ia adalah Amir, kawanku semasa SMA dulu. Aku tak sangka Ia telah
berubah, sampai-sampai aku tidak mengenalinya.
“AMIR? Waduh maaf
aku ndak tanda mukamu. Kamu tampak gagah sekarang, Mir. Mari masuk,
silahkan duduk. Tunggu aku bikinin teh,” aku kaget karena itu Amir, kawan
lamaku karena penampilannya banyak sekali perubahan. Aku menyuruhnya untuk duduk
sembari menyediakan suguhan kepadanya.
Dengan gembira
aku menyambutnya, membuatkannya segelas teh dan menyuguhinya kue untuk menemani
obrolan kita. Kita mengobrol santai sembari mengingat kenangan kami di masa
muda.